Satu Tahun Kemudian.
Rumah Belajar. 10 : 25
Semua anak-anak yang belajar hari itu telah berkumpul semua dan duduk dengan antusias. Mata mereka menatap dengan tidak sabar kearah layar infocus. Aku memeriksa sekali lagi posisi kamera, proyektor, juga laptopku semua beroprasi dengan normal. Oke, semua sudah siap. Melalui sebuah aplikasi, panggilan video meluncur menuju Andre nun jauh disana. Melbourne.
“Assalamualaikum” salam Andre seketika video terhubung. Wajahnya muncul dari layar besar proyektor. Sontak anak-anak berteriak kegirangan.
“Waalaikumsalam!”
“Waalaikumsalam!”
“Kak Andre! Waalaikumsalam!” Semuanya berebut menjawab salam Andre. Berebut menghadapi kamera agar terlihat oleh andre. Andre tertawa bahagia. Ia terlihat begitu ceria bisa bertemu dan berbicang dengan anak-anak meskipun hanya melalui cara virtual.
Sepulang dari rumah sakit setahun silam, Andre menghabiskan waktu hampir empat bulan untuk terapi psikologi di klinik Bu Sandra. Bukan! Bukan untuk menghilangkan depresinya karena batal menikah, melainkan untuk memperbaiki psikologinya yang labil, mudah meledak-ledak, temperamental, serta kesulitan mengendalikan diri dan emosi. Rupanya, akar permasalahan watak itu bersal dari traumatik nya dimasa lalu. Seringnya ia melihat pertikaian kedua orang tuanya sewaktu ia kanak-kanak membuatnya sering memendam amarah, dendam, juga luka perasaan yang dalam. Setelah merasa ia sudah mulai bisa mengendalikan emosi dan perasaannya, ia memutuskan untuk melanjutkan cita-citanya yang sempat tertunda, meneruskan studi ke jenjang master di Australia. Keluarganya mengerti, aku mahfum. Andre butuh segala kesibukan untuk membunuh segala ingatan itu.
“Oke anak-anak, sudah cukup ya. Sekarang saatnya pulang, orang-orang tua kalian telah menunggu di rumah. Minggu depan, kita video call lagi Kak Andre, oke?!” Aku menginstruksikan anak-anak.
“Yaah, sebentar lagi dong kak!”
“Iya, kak. Sebentar lagi dong!”
Mereka mengeluh, walaupun pada akhirnya mereka mengucapkan salam dan berpamitan pada Andre. Mereka memang anak-anak yang baik dan penurut.
“Bagaimana kabarmu? Sehat?” tanyaku ketika ruangan kelas sudah kosong. Hanya ada kami berdua sekrang yang bertemu secara virtual.
Andre tampak tersenyum. Mengenakan sweater berwarna biru, wajahnya begitu cerah dengan rambut yang rapih dan tatapan yang kembali bercahaya. Di belakangan terlihat latar sebuah bangunan besar yang amat klasik. Ada beberapa orang yang terlihat duduk berkelompok-kelompok diatas hamparan rumput hijau yang bersih. Andre pasti sedang berada di kampusnya.
Lanjutkan membaca “BAB14 : EPILOG”