Mini Novel SALAH

BAB 10 : HARAPAN

Rumah Sakit. 21:45

Konon, manusia bisa bertahan hidup empat puluh hari tanpa makan. Tiga hari jika tanpa minum. Hanya sekitar delapan menit saja tanpa oksigen. Tapi tidak lebih dari satu detik tanpa harapan.

Harapan. Itulah yang berhasil menuntun Andre melangkah menjauh dari bibir atap itu. Setitik saja, namun mampu menyuluh kembali seluruh cahaya di dalam hidupnya.

Harapan. Aku percaya ia masih tetap menyala, meski di dalam tubuh yang kini terkulai tidak berdaya. Dari hasil penyelidikan sementara, Andre ditengarai menelan setengah botol pil tidur sebelum melakukan percobaan gantung diri di roof top rumah tadi. Sekitar tiga belas butir pil. Merasa obat itu tidak bekerja dengan cepat, ia lantas memutuskan untuk mencoba gantung diri. Dokter berkata, kemungkinan Andre meminum susu sebelum menegak pil-pil itu sehingga lambat bereaksi. Mungkin Andre beruntung, tapi sial pil itu bekerja setelah harapan itu baru saja menyala.

Aku berdiri di luar kamar rawat Andre. Terpekur dari balak kaca memandangi tubuh kokoh yang kini tidak berdaya, menyesali apapun yang telah ia putuskan dengan gelap mata. Bodoh sekali, Andre. Masih saja aku mengumpati semua yang telah terjadi.

“Mas, Bagaimana keadaannya?” suara itu menyadarkanku dari lamunan. Anita? Aku membalik badan. Perempuan itu berdiri beberapa langkah dihadapanku. Wajahnya basah berlinang air mata.

“Dia baik-baik saja, Mas?” Anita kembali bertanya dengan nafas yang tersenggal-senggal. Baik-baik saja? Setelah belasan pil tidur dan tambang yang melingkar di leher?

“Dia tidak begitu baik.” Aku menggeleng lemah. “Tapi Alhamdullilah Allah masih menyayanginya, menelamatkannya” Kembali membalik badan dan melihat lagi Andre dari balik kaca jendela. Anita menyusul, berdiri tepat di sampingku. Terisak, ia menutup mulutnya dengan kedua belah telapak tangannya ketika melihat kekasihnya itu terkulai lemah. Tidak tega.

“Tapi Insyaallah tidak lama lagi dia akan baik-baik saja” Aku mencoba memberinya sedikit ketenangan.’

“Selemah apapun laki-laki, dia selalu tahu cara menguatkan diri. Hanya butuh sedikit waktu saja” Aku menambahkan. Anita hanya terisak. Ia sesegukan dengan tangis yang semakin menjadi. Beberapa kali ia menghapus air mata yang menjadi bah di wajahnya.

“HEH!! NGAPAIN KAMU DISINI?!” Kami tersentak. Astagfirullah, Hanna?

“PERGI LO, CEWE BRENGSEK!” Bentaknya lagi kepada Anita yang hanya bisa menganga tidak percaya mendapatkan perlakuan seperti itu. Ya Allah, Ya Rabbi, bisakah ini mereda sebentar saja?

“Hanna, sabar. Ini rumah sakit. Kamu bisa mengganggu pasien lainnya. Mengganggu kakakmu sendiri” Aku mengingatkannya.

“PERGI NGGA, LO!” Bentaknya lagi tanpa menggubris sama sekali peringatanku. Mendapatkan bentakan itu Anita yang semakin ketakutan melangkah mendekatku lalu merangkul lenganku, meminta perlindungan.

PLAK!! Telapak tangan itu pendarat dengan telak teopat di pipi kiri Anita yang sontak menjerit dan menyembunyikan wajahnya di lenganku. Menangis semakin menjadi.

“Astagfirullah, sabar Hanna!” sial ! aku aku yang masih tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi tidak sempat menghalangi serangan itu.

“KALAU BUKAN KARENA PEREMPUAN INI, KAK ANDRE TIDAK AKAN BERADA DISANA, MAS!” Teriaknya dengan kesal kepadaku sambal menunjuk Anita yang masih menyembunyikan wajahnya nya di lenganku. Tidak berani menatap keganasan Hanna. Beberapa perawat mulai mengintip. Tidak lama lagi petugas keamanan rumah sakit pasti akan tiba disini.

“Tapi bukan seperti ini caranya Hanna! Bukan sekarang dan disini!” Aku kembali mengingatkannya.

“PERSETAN!!” bukan menggubris, pukulan kedua itu hendak melayang ke kepala Anita. Tapi aku tidak akan membiarkan kejadian itu terjadi dua kali. Dengan sigap, tanganku tepat menangkap lengan Hanna. Baiklah, dia sama keras kepalanya dengan kakaknya. Aku menggenggam lengan Anita, meariknya berjalan dengan cepat meninggalkan Hanna, melewati koridor dimana orang-orang memunculkan wajah mereka dari balik pintu kamar, menatap kami dengan kesal yang sudah membuat kegaduhan. Berpapasan dengan dua petugas keamanan yang mungkin hendak menyeret kami keluar.

“Maafkan aku, mas.., maafkan aku..” ucap Anita sambal terisak menangis di dadaku ketika kami baru saja tiba di luar rumah sakit. Ah, semoga Hanna tidak menyusul, aku mengamati pintu rumah sakit dengan cemas.

“Aku minta maaf, maass…” Anita terisak semakin menjadi, memelukku semakin erat. Aku menggigit bibir, canggung, risih dengan tatapan orang-orang yang memandang kami penuh tanya.

Kuhempas nafas, menatap langit yang bercahaya sebongkah rembulan. Ya Allah, berilah masalah ini terang, seperti Kau memberi gelap malam ini dengan cahaya rembulan-MU. Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in.

***

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.