Mini Novel SALAH

BAB 2 FAKTA YANG MENYAKITKAN

“Ayo bangun. Kita bersihkan pakaian,  ke musholla, sholat taubat” berdiri, aku mengulurkan tangan kepada Andre. Tertatih, Andre menyambut lenganku. Berdiri. Tanpa berucap satu sama lain, kami berjalan menuju musholla dalam diam sendiri-sendiri. Sebelum melaksanakan sholat taubat, aku mengajaknya menunaikan sholat azhar terlebih dahulu karena sudah masuk waktunya azhar.

***

Selepas mengerjakan semua kewajiban, kami kembali merebahkan diri di atas lantai musholla. Masih saling tidak bicara, larut dalam pikiran masing masing. Entah apa yang yang kini bergentayang di kepala Andre, aku memikirkan apa yang telah kuucapakan kepada Anita tadi. Bentakan, makian. Ya Allah, entah bagaimana semua kalimat dan perkaan itu keluar dari mulutku. Bagaimana aku bisa sampai menunjuk wajahnya? Masih terbayang dimataku wajah tertegun Nita. Menangis, tidak mengira dua lelaki yang begitu dekat dengannya telah membentak dan memakinya. Kuusap wajahku yang kebas, mengucapkan kalimat istighfar, memohon ampun dari Allah, menyesali semua yang telah aku lakukan padanya.

“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” lirih, aku memberanikan diri untuk bertanya. Atas kejadian yang menyakitkan tadi, aku berhak mendapatkan jawabannya, bukan? Andre mendesah nafas panjang. Dia mengangkat punggungnya, duduk. Beberapa kali ia mengusap rambutnya. Aku turut mengangkat badan. Dibeberapa bagian, aku merasakan sakit yang lumayan.

Lanjutkan membaca “BAB 2 FAKTA YANG MENYAKITKAN”

Mini Novel SALAH

BAB 1 MINGGU YANG MENGHEMPAS!

 

Rumah Belajar. Minggu. 13:15

Tergopoh-gopoh, aku turun dari Cummuter line. Setengah berlari, menyusuri peron stasiun yang dijelali oleh para penumpang. Sebenarnya, aku sudah biasa berjalan kaki menuju rumah belajar yang berjarak tidak tidak lebih dari 1,5 kilometer. Tapi apa daya aku sudah terlambat. Maka jadilah aku pilih ojek stasiun untuk membantuku mempercepat waktu menuju rumah belajar. Siang itu di atas motor ojek, aku mengadahkan kepala keatas, memicingkan mata. Ah, minggu Siang yang sungguh terik.

Lima menit. Motor ojek sudah berhasil membawaku sampai di rumah baca. Segera kuberikan selembar uang sepuluh ribuan seperti kesepakan kami diawal, lalu mengucapkan terima kasih. Abang tukang ojek hanya mengangguk, memasukan uangnya ke saku jaket lalu kembali menggeber motornya. Meninggalkan debu dan asap yang mebuatku terbatuk.

“Ah, Ini dia. Yang ditunggu akhirnya tiba juga” seru Andre yang tiba-tiba sudah ada di depan pintu rumah belajar.

“Assalamualaikum” mengucapkan salam, aku menjabat dan memeluk sahabat yang sudah aku anggap adikku sendiri itu.

“Waalaikumsalam” ucapnya sambil membalas jabatan dan pelukanku.

“Maaf terlambat.Tadi keretanya berhenti cukup lama. Entahlah, mungkin ada pengalihan jalur kereta lainnya” jelasku kepadanya.

“Assalamulaikum. Alhamdullilah akhirnya kamu sampai juga mas. Anak-anak sudah resah menunggumu sedari tadi” Anita muncul dari dalam.

“Waalaikumsalam” Aku dan Andre serentak menjawab salamnya.

“Iya nih, maaf. Biasalah kereta” Aku mengangkat bahu.

“Ngga papa mas. Anak-anak sabar tuh menunggu kamu” ujarnya sambil tersenyum.

Tidak sabar, aku langsung memburu anak-anak yang menggemaskan itu di ruang kelas. Memulai rutinitas mingguanku di rumah belajar ini. Mendongeng. Ada 30 lebih anak yang sekarang belajar di rumah belajar ini. Anak-anak ibu kota yang keras. Anak-anak ibu kota yang menyentuh perndidikan formal seadanya. Tuntutan perut, membuat mereka harus mengais rezeki dari diusia dini, mengorbankan masa bermain yang semakin sempit mereka rasai. Beruntung, seminggu sekali orang tua mereka mengizinkan untuk belajar disini. Beruntung masih ada orang-orang seperti Andre dan Anita yang masih memperdulikan masa depan anak-anak ini.

Lanjutkan membaca “BAB 1 MINGGU YANG MENGHEMPAS!”