Mini Novel SALAH

BAB 13 : MAAFKAN AKU, ANDRE

Minggu. 10 : 30

Aku berangkat ke rumah sakit dengan pikiran semua pikiran dan perasaan yang kacau, juga tubuh yang masih terasa remuk. Sepagi tadi, mama Andre memberi kabar bahwa keadaan Andre sudah cukup membaik dan sudah diizinkan dokter untuk ditemui. Sepanjang perjalanan di dalam taxi online, kepingan-kepingan kejadian dari seminggu yang lalu masih berkelebat di dalam otakku. Kepingan-kepingan peristiwa yang menyakitkan. Aku hanya bisa berharap hikmah dan hidayah Allah dari semua kejadian ini dapat segera terlihat, agar luka demi luka ini tidak terlalu lama menganga.

Rumah Sakit. 11 : 05

Turun dari taxi online, aku tidak langsung menuju kamar Andre. Aku masih perlu waktu sebentar untuk mempersiapkan diri menyampaikan segalanya kepada Andre. Dengan kondisi kesehatannya, ini mungkin bukan waktu yang tepat untuk menyampaikan semua kepada Andre. Tapi adakah waktu yang tepat untuk menyampaikan sebuah kabar buruk? Duduk sebentar di lobby rumah sakit bersama beberapa pasien dan pengantar, aku mengumpulkan segala keberanian.

“Mas sudah mendaftar?” tanya seorang perawat menghampiri sembari khusuk memandangi pelipis kiriku yang masih membiru dan sedikit bengkak.

“Oh, saya hanya ingin membesuk teman, mbak” aku mengangkat telapak tangan, menarik urat-urat di bibir.

“Oh..” ucapnya sambil menatap heran lalu berlalu. Mungkin ia berfikir, seharusnya memar di pelipisku itu diperiksa. Baiklah, mungkin ini saatnya menemui Andre. Aku mengangkat tubuhku, mengucap basmallah lalu melangkah.

“Assalamualaikum” ucapku ketika membuka pintu kamar Andre.

“Waalaikumsalam” Andre hanya menoleh sebentar, lalu kembali khusuk mengarahkan pandangannya ke arah jendela tempat ia berdiri. Jarum terlihat masih menancap di lengannya dari infus yang tergantung di tiang sebelah Andre. Tidak ada siapa-siapa disana selain kami berdua. Hanna memang sedang ada keperluan di kampusnya. Sementara mama dan papa Andre harus pulang sebentar, menyelesaikan beberapa urusan di rumah. Itu sebabnya tadi pagi mamanya memintaku untuk datang menemani dan mengawasi Andre.

Aku masih mematung di dekat pintu. Tidak tahu harus berbuat atau mengatakan sesuatu. Gamang menggantung di seisi ruangan. Dengan kesunyian, kamar rumah sakit yang mewah sekalipun, ternyata dapat lebih menakutkan.

“Semalam aku bermimpi, mas” ucap Andre tanpa menatapku. Pandangannya masih nanar kearah luar jendela. “Mimpi yang panjang sekali” sambungnya pelan. Aku tidak merespon apapun, memberinya waktu untuk melanjutkan ceritanya.

“Aku bermimpi aku telah siap untuk melaksanakan pernikahan, Mas. Mama dan Hanna telah telah mengenakan kebaya yang cantik, Papa telah mengenakan jasnya dengan gagah. Aku sendiri mengenakan pakaian serba putih. Kami semua telah siap ke rumah Nita. Aku mencari-carimu, Mas. Tapi mas tidak ada. Aku bertanya-tanya dimana dirimu, Mas? Aku ingin kau hadir di pernikahanku. Aku ingin kau menjadi saksi kebahagiaanku dengan Anita” Andre terhenti. Ia tercekat. Kulihat punggungnya bergetar. Ia menangis. Aku menggigit bibir.

“Kami lalu berangkat tanpa dirimu. Sepanjang perjalanan Aku terus berharap kau bisa hadir di pernikahanku dan Anita” sambung Andre kembali.

“Tapi perjalnan kami terhambat. Di perjalanan ada seseorang yang menghalangi kami untuk menuju rumah Anita. Aku tidak mengenali orang itu karena ia menggunakan penutup wajah. Berkali-kali aku minta ia untuk tidak menghalangi perjalanan kami. Tetapi ia kukuh meminta kami untuk kembali. Aku marah, mas. Aku berkelahi dengan orang itu habis-habisan sampai pakaianku yang sudah rapi jadi acak-acakan. Hingga suatu momen, tanpa sengaja aku menarik dan melepas penutup wajah orang itu” Andre kembali tecekat. Aku tanpa berkedip memendangnya. Menunggu dengan penasaran kelanjutan ceita mimpi itu.

“Orang itu adalah kamu, mas” lanjutnya pelan. Aku tersentak. Naudzubillah Min Dzalik.

“Hei” Aku meemanggil Andre pelan. Akhirnya ia membalikkan tubuhnya. Menatapku dengan sayu. “Dalam masalah ini, Kau tahu, Aku adalah orang yang paling depan memperjuangkanmu dan Anita” ujarku meyakinkan Andre. Ia mengangguk lemah.

“Tapi didalam hidup, ada saat kita berjuang mati-matian. Namun ada juga saatnya kita mengikhlaskan” Aku mengakhiri kalimat dengan menghela nafas. Andre menatapku dengan pandangan getir. Bersiap dengan apapun kalimat yang akan aku lanjutkan.

“Maafkan aku, Andre. Tapi, jika kamu masih percaya padaku, mungkin ini saatnya untuk melepaskan semua” ucapku berat. Andre menarik nafas dalam, mendongakkan kepalanya, mencoba menahan air mata agar tidak tumpah. Aku tahu apa yang ia butuhkan, maka aku melangkah mendekat, lalu mendekap tubuhnya. Kubiarkan tangisnya tumpah. Biarlah cinta itu pergi bersama mengalirnya air mata, biarlah degub rindu itu merela bersama isak di dada.

“Ikhlaskan, Andre. La haula wala quwwata illa billah” bisikku kepadanya. Ya Allah, semoga apa yang kusampaikan dan kusarankan kepadanya ialah petunjuk dari-SSMU semata.

***

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.